Ketika Filsafat, Ideologi Dunia, dan Mistis Nusantara Bertemu di Abu Grahadi
0 menit baca
REDAKSI NEWS | SURABAYA — Gedung Grahadi dilalap api. Atap runtuh, dinding ambruk, asap hitam menutup langit kota. Namun satu hal bikin publik heboh, lukisan Pakde Karwo, mantan Gubernur Jawa Timur, tetap utuh.
Relawan pemadam pun kaget: "Lemari besi meleleh, tapi kanvas selamat? Out of logic," Dari situlah tafsir bermunculan, dari budaya, agama, hingga politik.
Tafsir Mistis Nusantara
1. Jawa: Api hanya melahap yang kotor. Yang selamat = suci.
2. Sunda: Mirip kisah Prabu Siliwangi yang “ngahiang” tanpa tersentuh api.
3. Minang: “Nan sabana murni, indak kaabu dek api” yang murni tak akan jadi abu.
4. Bali: Api = penyuci. Yang lolos darinya dianggap lulus ujian dharma.
Ramalan Jayabaya menyebut, di masa gonjang-ganjing akan ada tanda dari api sesuatu yang tak terbakar, isyarat penjaga tanah Jawa.
1. Islam: Kisah Nabi Ibrahim yang selamat dari kobaran api Namrud (QS. Al-Anbiya: 69). Api tunduk pada kehendak Allah.
2. Kristen Protestan: Tiga pemuda Ibrani (Sadrakh, Mesakh, Abednego) selamat dari perapian karena iman.
3. Katolik: Api dimaknai sebagai Roh Kudus yang menyucikan, bukan menghancurkan. Yang lolos dari api bisa dibaca sebagai tanda perlindungan Ilahi.
4. Hindu: Api (Agni) sebagai saksi penyucian. Selamat dari api = lulus ujian dharma.
5. Budha: Api melambangkan nafsu. Sesuatu yang tahan api = simbol kebersihan batin.
6. Konghucu: Api adalah simbol Li (keteraturan kosmos). Yang lurus dan murni akan dijaga Tian (Langit).
Ilmiah, Politik Simbolik dan Filsafat Ideologi
Fenomena ini bisa dibaca lewat tiga lensa besar sains, simbol politik, dan ideologi dunia.
1. Ilmiah (Sains Material): Lukisan mungkin selamat karena posisi ruangan, bahan cat atau kanvas yang tahan panas, hingga faktor sirkulasi udara.
2. Politik Simbolik (Sosiologi Kekuasaan): Dalam kultur Nusantara, realitas fisik selalu ditarik ke makna moral. Selamatnya lukisan dimaknai sebagai kritik zaman: rakyat masih merindukan pemimpin tulus yang bersih dari korupsi.
- Marxisme: Api yang melahap gedung = simbol “pembersihan kelas.” Yang tersisa adalah kedekatan pada rakyat.
- Eksistensialisme: Peristiwa absurd yang memaksa manusia mencari makna. Lukisan jadi simbol otentisitas.
- Hegelianisme: Sejarah bergerak melalui roh dunia. Lukisan selamat = tanda roh kepemimpinan tulus masih dibutuhkan.
- Liberalisme: Institusi bisa runtuh, tapi individu (simbol pemimpin) tetap hidup dalam ingatan.
- Pancasila: Sejalan dengan sila ke-1 (Ketuhanan) dan sila ke-5 (Keadilan Sosial). Kekuasaan zalim bisa musnah, tapi ketulusan dijaga jagat dan Tuhan.
Tokoh muda marhaen sekaligus pengurus KNPI, Fredi Moses Ulemlem, menegaskan pada Rabu (3/10):
"Ini bukan sekadar mistis. Api bisa melahap kekuasaan korup, tapi tidak bisa menghapus ingatan tentang pemimpin tulus yang berpihak ke wong cilik," kata dia.
Pesan itu seolah bersambung dengan amanat Bung Karno, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya,"
Fenomena Abu Grahadi pun akhirnya menjadi titik temu antara mistis, agama, sains, dan politik. Dari ramalan Jayabaya hingga kitab suci, dari pitutur Prabu Siliwangi hingga ajaran Bung Karno, semua mengerucut pada satu pesan yang tak lekang dimakan zaman:
Api bisa membakar gedung, tapi tidak bisa membakar ketulusan.(sa/by)